Selasa, 12 November 2013

I May Not Be Afraid

Kemarin adalah hari kedua berkunjung ke sebuah panti werdha untuk ujian praktik Psikologi Klinis. Hari kedua yang saya sadari kehadiran saya tidak diiringi dengan perasaan menyenangkan. Sebenarnya, saya menyukai praktik lapangan dan melakukan studi kasus tapi saya tidak menyukai deadline-nya yang tinggal sebentar lagi. Di atas segalanya, saya tidak pernah menyukai suasana panti werdha, tapi ini tugas, bung, mau tak mau harus diselesaikan!

Dari kemarin, saya selalu bersungut-sungut untuk segera pulang dari panti werdha ini. Hari ini pun tak berbeda, saya hanya ingin segera melakukan interview dengan seorang nenek yang sudah saya targetkan sejak kemarin dan pulang secepat mungkin. Bukan kenapa, saya  tidak pernah menyukai nuansa panti werdha. Aroma kematian dan penyakit di akhir hidup serasa begitu menyesakkan bagi saya. Keduanya itu belumlah seberapa. Satu hal yang paling membuat saya tidak nyaman adalah kesepian. Yah, kesepian karena ditinggalkan oleh kematian orang yang tercinta ataupun karena dicampakkan oleh keluarga sendiri. Kesepian di akhir hidup yang justru sedang membutuhkan kehadiran orang lain yang mencintai dan mendukung diri kita sendiri.

Menyadari ini semua, pikiranku segera melompat liar. Berimajinasi jauh ke depan. Sebagai seorang gay yang belum bisa menikah sesama jenis di negara ini, dapatkah dibayangkan masa depan seorang gay tua yang tak memiliki keturunan atau anak adopsi? Jika ia bisa tinggal bersama pasangannya hingga hari tua sekalipun, ketika pasangannya meninggal kemana ia akan pergi? Bagaimana jika keluarga intinya sendiri sudah tak sudi menerimanya di usia senja karena orientasi seksualnya terbongkar?

Apa yang bisa menjadi lebih buruk daripada itu?

Tidakkah kematian menjadi lebih baik daripada hidup lemah dan sendirian?

Ternyata ada.

Yaitu, menjadi tua, lemah dan sendirian karena keputusan sendiri yang akhirnya disesali.

Saya dan ketiga teman saya bertemu dengan seorang nenek yang duduk di kursi menanyakan darimana kami berasal. Segera setelah ia mengetahui bahwa kami kuliah psikologi dan datang untuk ujian praktik, nenek itu mengawali ceritanya mengenai keponakannya yang juga kuliah psikologi di Jerman. Ia dulu orang yang hebat, pernah bekerja di berbagai duta besar dan organisasi UN. Raut wajahnya yang dipenuhi keriput pun tak melunturkan kecantikannya di usia senja. Bisa dibayangkan, cantik dan cerdas pada masanya namun ia tak pernah menikah atas keputusannya sendiri.

Keputusan nenek ini tak serta merta dibuat begitu saja. Sebagian orang memutuskan untuk tidak menikah karena memang mereka menemukan kebahagiaan menjadi lajang, terlepas dari apapun kata orang di sekitarnya. Saya bahkan menemukan satu sosok oma cantik dengan ideologi seperti ini juga di panti yang sama. Keputusannya dibuat atas dorongan untuk menjadi bahagia dan ia sungguh berbahagia karenanya. Namun, nenek yang satu ini membuat keputusannya atas dasar ketakutan. Ia pernah melihat kawannya yang menikah dengan lelaki menjadi korban penyiksaan fisik dari suaminya sendiri. Kawannya ini hampir setiap hari datang ke kantor dengan wajah yang babak belur. Hal ini membawakan sebuah kenangan buruk tersendiri bagi si nenek. Ketakutannya begitu hebat sehingga si nenek membentuk sebuah keputusan bulat yang ia genggam erat-erat.

Nenek ini memiliki 3 saudara perempuan. Ketiganya akhirnya menikah dan hidup tanpa adanya penyiksaan dari suami mereka. Kenyataan ini tak membuatnya segera mengubah pikirannya mengenai sosok lelaki yang mengerikan sebagai suami. Banyak laki-laki sudah hendak melamarnya, namun ia menolak ke semuanya. Suatu saat, ayahnya sangat marah kepada si nenek dikarenakan si nenek menolak Pangeran dari Iran, namun ia bersikukuh atas keputusannya untuk tidak menikah.

Keputusan yang dibuat berdasarkan ketakutan membawakan penyesalan mendalam pada si nenek. Di hari tuanya, ia tak memiliki pasangan hidup. Ia tak memiliki anak. Ia tak memiliki siapapun yang dapat merawatnya. Ia akhirnya memutuskan sendiri untuk masuk ke panti jompo karena tak ingin merepotkan siapapun dari keluarganya.

Dari keseluruhan ceritanya, saya merasakan beberapa kemiripan dengan apa yang terjadi di komunitas gay. Banyak di antara mereka menganggap bahwa kebanyakan gay sendiri tukang selingkuh dan brengsek sehingga mereka tak memiliki harapan sama sekali untuk menjalin hubungan jangka panjang. Saya pernah berada di posisi ini dan saya mengerti betul, bahwa ketakutan jugalah yang membawakan keputusan kebanyakan gay untuk berhenti mencintai di komunitas gay dan berfokus ke area hidup lain. Ketakutan untuk tersakiti, ketakutan untuk kecewa, ketakutan untuk tidak dicintai setelah mencintai. Beberapa akhirnya memutuskan untuk menikah dengan lawan jenis yang tidak tau soal orientasi seksual mereka, karena selain untuk memenuhi tuntutan masyarakat, mereka berpikir bahwa pernikahan dengan lawan jenis ini akan lebih memberikan kepastian untuk mereka di masa sekarang dan ke depannya nanti. Beberapa lagi memutuskan untuk berlangganan "cinta satu malam". Hari tua dari orang-orang semacam ini? Bervariasi juga. Yang pasti sampai sekarang, setelah banyak aktif di komunitas gay di Indonesia pun, saya juga jarang menemukan ada pasangan gay monogami yang bertahan dan berbahagia hingga lansia.
Ketakutan akan membawakan kita pada jurang kegelapan. Kita tak akan mampu untuk melihat dengan jelas saat kita tertunduk pada ketakutan. Namun menyerah kepadanya  untuk selamanya, hanya akan membawa kita pada jurang kegelapan yang lebih kelam lagi. Saya percaya bahwa setiap manusia adalah sumber cahaya yang dapat berpendar atas kehendaknya sendiri. Kita tak boleh menyerah pada kegelapan. Kita tak bisa menunduk begitu saja pada ketakutan. Pemikiran inilah yang akhirnya membebaskan saya.

Butuh sebuah kekuatan dan keberanian dan banyak hal lainnya untuk mendorong saya berani melawan ketakutan ini. Tidak mau disakiti dalam sebuah hubungan hanyalah omong kosong belaka bagi saya. Setiap langkah kita dalam hidup dipenuhi konsekuensi tersendiri. Disakiti saat mencintai adalah salah satu konsekuensi logis yang harus diterima. Mungkin melelahkan dan sangat menyakitkan bagi beberapa orang, tapi bagi saya, lari dari kemungkinan untuk berbahagia hanya akan membawakan penyesalan yang lebih hebat di masa depan.

Saya seorang abusive relationship survivor dari mantan yang boleh dibilang telah saya berikan hampir segalanya saat masih mencintainya. Hingga saat ini, luka yang dibawakan olehnya masih terbuka lebar dengan dendam, tapi saya tidak mau menutup pintu kebahagiaan saya sendiri karena rasa takut mencoba lagi dan lagi. Yah, banyak gay di luar sana yang brengsek, mantan abuser itu telah menunjukkan dengan jelas kepada saya contoh gay brengsek itu seperti apa, tapi saya tetap yakin dan harus berani mencoba untuk menemukan sosok yang sekiranya dapat memperkokoh kebahagiaan saya.

Saya juga menyadari betul bahwa populasi gay saja masih sedikit, apalagi menemukan gay yang tipe idaman saya, apalagi menemukan gay tipe idaman yang mencintai saya, apalagi menemukan gay tipe ideaman yang mencintai saya dan tidak menyakiti saya sama sekali. Berharap tidak terluka hanya karena merasakan telah memberikan segalanya itu sama saja seperti berharap seekor harimau tidak akan memakanmu di saat kamu justru sudah memberikan tubuhmu untuk dimakan.

Yah, kau sudah menyerahkan dirimu ketika mencintai seseorang. Apakah orang itu akan menjadi harimau yang melompat kepadamu untuk memangsamu atau memelukmu, adalah sepenuhnya pilihan orang tersebut yang tak dapat dikendalikan oleh kita. Bagi saya, berpasrah dan bersyukur atas apapun yang terjadi adalah satu-satunya cara untuk bisa berani menjalani hubungan dan juga bertahan setelah hubungan itu selesai dengan menyakitkan.

Tunduk begitu saja kepada ketakutan tidak akan membantu kita untuk melihat cara ini hingga sejauh itu. Bagi mereka yang tunduk kepada ketakutan, penyerahan diri adalah kehancuran mutlak. Ketakutan berasal dari egoisme manusia yang ingin bahagia dan dibahagiakan setiap saat adalah ketakutan yang justru menyebabkan penderitaan dan penyesalan lebih jauh. Takut adalah suatu hal yang wajar, takut adalah hal yang membuat spesies manusia mampu bertahan hingga sejauh ini. Namun bertahan hanya untuk menyesal dan menderita lebih lanjut seumur hidup, tidaklah lebih baik daripada mati bagi saya. Bagi saya, itu lebih buruk.

Sebelum mengakhiri ini semua, mungkin perlu digarisbawahi bahwa saya tak membenci ketakutan sama sekali. Tidak sedikitpun. Justru ketakutan akan penyesalan yang lebih mendalam saat menurut mutlak kepada ketakutan begitu saja yang mendorong keberanian saya untuk kembali mencoba dan tetap mencintai. Jujur saya akui, saya lebih takut pada kesepian. Ketakutan itu ada di sana, saya bisa merasakan ia hidup dalam diri saya. Tentunya, ketakutan akan kesepian ini juga memiliki konsekuensinya di dalam hubungan romansa saya. Di atas segalanya, saya memutuskan bahwa sayalah tuan dari semua ketakutan itu sendiri yang dapat mengendalikan segala macam bentuk dan arahnya. Karena saya adalah penentu kehidupan saya sendiri ke depannya, saya tak boleh tunduk kepada satu pun ketakutan begitu saja.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar